MAKALAH TEORI
EKONOMI
DAMPAK AFTA TERHADAP INDONESIA PADA UMUMNYA, PADA SEKTOR
RIIL DAN SEKTOR TENAGA KERJA PADA KHUSUSNYA
Disusun oleh :
Amalia Nurul Hidayah
Anda Putra
Icha Tifany
Putri Nadila Humairoh
SMAK - 06
Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma
DAMPAK AFTA TERHADAP INDONESIA
PADA UMUMNYA, PADA SEKTOR RIIL DAN SEKTOR TENAGA KERJA PADA KHUSUSNYA
Pada masa ini
tak ada satu pun negara bisa menghindarkan diri dari arus globalisasi
sebagaimana ditulis oleh ekonom ternama, peraih nobel ekonomi, Joseph Stiglitz,
dalam buku Making Globalization Work (2006). Asia diramalkan akan menjadi
kekuatan ekonomi baru. Asia akan tumbuh menjadi emerging market yang disokong
oleh Cina, India dan Asia Tenggara.
Dengan kecenderungan
tersebut, Asean Economic Community (AEC), yang akan diberlakukan pada
2015, memiliki nilai strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Asia. Saat
ini rata-rata laju pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah 5,5% serta memiliki jumlah
penduduk 608 juta jiwa yang merupakan potensi pasar dan tenaga kerja yang
besar.
Oleh banyak kalangan, Indonesia
dinilai belum siap menghadapi ASEAN Free Trade (AFTA) tahun 2015.
Permasalahannya beragam. Salah satunya adalah terbatasnya infrastruktur seperti
jalan, pelabuhan dan bandara. Kelengkapan infrastruktur diperlukan untuk
menekan biaya logistik dan transportasi yang dapat melemahkan daya saing produk
Indonesia. Saat ini memang diperkirakan ada 600 juta penduduk di ASEAN yang
dapat menjadi pasar potensial.
AFTA adalah bentuk dari kerjasama
perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk
menciptakan situasi perdagangan yang seimbang dan adil melalui penurunan tarif
barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif maupun hambatan non tarif
bagi negara-negara anggota ASEAN. Hanya akan ada satu pasar dan basis produksi
dengan lima elemen utama, yaitu aliran bebas barang, bebas jasa, bebas
investasi, aliran modal dan aliran bebas tenaga kerja terampil.
Dengan tujuan meningkatkan daya
saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis
produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan
antar anggota ASEAN. Dalam kesepakatan, AFTA direncanakan berpoerasi penuh pada
tahun 2008 namun dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003.
Mekanisme utama untuk mencapai
tujuan di atas adalah skema “Common Effective Preferential Tariff” (CEPT) yang
bertujuan agar barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang
memenuhi ketentuan setidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5
%.
Namun anggota ASEAN mempunyai
tiga pengecualian CEPT dalam tiga kategori :
(1) pengecualian sementara,
(2) produk pertanian yang
sensitif
(3) pengecualian umum lainnya
(Sekretariat ASEAN 2004)
LALU APA DAMPAKNYA BAGI
INDONESIA?
Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN
memiliki beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapannya dalam menghadapi
AFTA, diantaranya adalah : dari segi penegakan hukum, sudah diketahui bahwa
sektor itu termasuk buruk di Indonesia. Jika tidak ada kepastian hukum, maka
iklim usaha tidak akan berkembang baik, dimana keadaan tersebut akan
menyebabkan biaya ekonomi suatu barang tinggi yang berpengaruh terhadap daya
saing produk tersebut dalam pasar internasional.
Persoalan lain yang harus
dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia sangat luas, baik berupa
lautan maupun daratan, yang sangat sulit diawasi. Akibatnya, terjadi banjir
barang selundupan yang melemahkan daya saing industri nasional.
Namun, selain menghadapi berbagai
persoalan, AFTA jelas membawa sejumlah keuntungan. Pertama, barang-barang yang
semula diproduksi dengan biaya tinggi akan bisa diperoleh konsumen dengan harga
lebih murah. Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi secara bersama-sama,
kawasan ASEAN akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan
sumber daya alam dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif.
Ketiga, adanya spesialisasi yang
meningkatan volume perdagangan. Sebagai contoh, ada dua negara yang dapat
memproduksi dua barang, yaitu A dan B, tetapi kedua negara tersebut membutuhkan
barang A dan B untuk dikonsumsi.
Secara teoretis, perdagangan
bebas antara kedua negara tersebut akan membuat negara yang memiliki keunggulan
komparatif (lebih efisien) dalam memproduksi barang A (misalkan negara pertama)
akan membuat hanya barang A, mengekspor sebagian barang A ke negara kedua, dan
mengimpor barang B dari negara kedua.
Sebaliknya, negara kedua akan
memproduksi hanya barang B, mengekspor sebagian barang B ke negara pertama, dan
akan mengimpor sebagian barang A dari negara pertama. Akibatnya, tingkat
produksi secara keseluruhan akan meningkat (karena masing-masing negara mengambil
spesialisasi untuk memproduksi barang yang mereka dapat produksi dengan lebih
efisien) dan pada saat yang bersamaan volume perdagangan antara kedua negara
tersebut akan meningkat juga (dibandingkan dengan apabila kedua negara tersebut
memproduksi kedua jenis barang dan tidak melakukan perdagangan).
Saat ini AFTA hampir seluruhnya
diimplementasikan. Dalam perjanjian perdagangan bebas tersebut, tarif impor
barang antarnegara ASEAN secara berangsur-angsur telah dikurangi. Saat ini
tarif impor lebih dari 99 persen dari barang-barang yang termasuk dalam daftar Common
Effective Preferential Tariff (CEPT) di negara-negara ASEAN-6
(Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) telah
diturunkan menjadi 5 persen hingga 0 persen.
Selain itu AFTA tampaknya telah
dapat meningkatkan volume perdagangan antarnegara ASEAN secara signifikan dan
memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk-produk
mereka di pasar ASEAN dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar
Indonesia, kemampuan negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita
bahkan masih lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar
ekspor negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kenaikan pangsa pasar China di Indonesia.
Pada tahun 2001 pangsa pasar
ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 17,6 persen. Implementasi AFTA
telah meningkatkan ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya, pangsa
pasar ASEAN di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa
pasar negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen. Jadi, saat ini
produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar Indonesia dibandingkan
dengan produk-produk dari China.
Namun sayangnya hal ini belum
terjadi pada Indonesia, pada tahun 2000, misalnya, pangsa pasar ekspor
Indonesia di Malaysia mencapai 2,8 persen. Dan pada tahun 2005 hanya meningkat
menjadi 3,8 persen. Hal yang sama terjadi di pasar negara-negara ASEAN lainnya.
DAMPAK PADA SEKTOR RIIL
Untuk Indonesia kerjasama AFTA
merupakan peluang yang cukup terbuka bagi sector riil, salah satunya
barang seperti hasil komoditas pertanian. Kegiatan ekspor komoditas pertanian
yang selama ini dihasilkan Indonesia namun belum bisa menjadi sumber pemasukan
ekspor memiliki kesempatan yang lebih baik dengan adanya AFTA. Apalagi kita
tahu bahwa Indonesia kaya akan hasil alam yang sampai saat ini belum kita
manfaatkan dengan maksimal.
Secara umum, beberapa produk kita
siap berkompetisi seperti, minyak kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas
alam, sepatu, dan garmen. Tetapi, banyak pula jenis produk kita yang belum
mampu bersaing dengan negara – negara ASEAN lain diantaranya, produk otomotif,
teknologi informasi, dan produk pertanian. Dimana dalam pengembangan sektor
riil baik barang ataupun jasa harus didukung dengan kemampuan. Namun tentunya
barang – barang berharga lebih murah dengan kualitas yang baik akan lebih
diminati oleh konsumen dan itulah tantangan terbesar yang akan dihadapi para
produsen.
DAMPAK PADA SEKTOR TENAGA KERJA
Sumber daya manusia (SDM)
Indonesia dinilai belum siap menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau pasar
bebas ASEAN mulai 2015. “Kita semua tahu bagaimana kualitas SDM dan
infrastruktur kita, padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama lagi,” kata
pengamat politik ekonomi internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia
mengatakan pada dasarnya FTA (Free Trade Area) sangat potensial untuk
memperluas jejaring pasar sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya lagi
pembatasan kuota produk.
Namun tentu saja dibutuhkan
kemampuan yang sejajar dengan negara – negara lain, khususnya di bidang sumber
daya manusia (SDM). Karena SDM Indonesia yang akan berkompetisi ekonomi
regional tersebut. Jika peluang itu tidak dimanfaatkan maksimal, maka Indonesia
justru menjadi pasar bagi negara lain. Pemerintah dan pengusaha harus
mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk menghadapi AFTA 2015. Menurut
Rangga Umara, pengusaha yang sukses berbinis Pecel Lele Lela, pengusaha
Indonesia sangat siap menghadapi AFTA 2015. “Kami tidak akan menjual perusahaan
kami ke asing, “ janjinya. AFTA 2015 menjadi peluang sekaligus harapan bagi
pengusaha Indonesia dan ASEAN. Bagi pengusaha lokal, manfaat yang bisa
diambil antara lain peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk
Indonesia. Bayangkan saja dengan penduduk sebesar ± 600 juta dan tingkat
pendapatan masyarakat yang beragam, pasar ASEAN tentu menjanjikan.
Pada sektor tenaga kerja
Indonesia, AFTA di nilai akan berdampak negatif melihat kesiapan ataupun kualitas
sumber daya manusia yang di nilai belum memiliki bekal yang cukup untuk
bersaing dengan SDM dari negara – negara ASEAN lainnya, yang akan berakibat
munculnya banyak pengangguran dan sector tenaga kerja Indonesia penuh dengan
SDM dari negara lain.
Dampak terburuk mengancam
masyarakat lapisan paling bawah, seperti petani gurem dan pedagang kecil. Karena
memang pada AFTA tahun 2015 produk-produk mereka harus bisa bersaing dengan
produk seluruh negara ASEAN. Melihat saat ini Indonesia setidaknya berada
di peringkat keenam dalam ASEAN di luar negara-negara yang baru bergabung
(Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).
John Prasetyo, Staf Khusus
Menteri Perindustrian, kepada para wartawan, mengatakan AFTA 2015 tak
perlu disikapi berlebihan dengan membuat rambu-rambu yang justru dapat
merugikan Indonesia. Apalagi integrasi ekonomi regional itu lebih banyak
mengusung pasar tunggal dan kesetaraan. Yang harus dengan serius
diperhatikan adalah sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehingga bisa
bersaing dengan SDM negara ASEAN lainnya. Salah satu contoh simple nya adalah,
tenaga kerja dari negara-negara lain di ASEAN bisa bebas bekerja di Indonesia,
begitu juga sebaliknya. Perlunya juga peran aktif dari masyarakat agar tidak
terlalu tertarik oleh produk impor yang masuk, agar terjadinya keseimbangan
pasar.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar