Kamis, 19 Desember 2013

DAMPAK AFTA TERHADAP INDONESIA PADA UMUMNYA, PADA SEKTOR RIIL DAN SEKTOR TENAGA KERJA PADA KHUSUSNYA

MAKALAH TEORI EKONOMI
DAMPAK AFTA TERHADAP INDONESIA PADA UMUMNYA, PADA SEKTOR RIIL DAN SEKTOR TENAGA KERJA PADA KHUSUSNYA


Disusun oleh :
Amalia Nurul Hidayah
Anda Putra
Icha Tifany
Ismi Alawiyah
Putri Nadila Humairoh
SMAK - 06

Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma

DAMPAK AFTA TERHADAP INDONESIA PADA UMUMNYA, PADA SEKTOR RIIL DAN SEKTOR TENAGA KERJA PADA KHUSUSNYA
Pada masa ini tak ada satu pun negara bisa menghindarkan diri dari arus globalisasi sebagaimana ditulis oleh ekonom ternama, peraih nobel ekonomi, Joseph Stiglitz, dalam buku Making Globalization Work (2006). Asia diramalkan akan menjadi kekuatan ekonomi baru. Asia akan tumbuh menjadi emerging market yang disokong oleh Cina, India dan Asia Tenggara.

Dengan kecenderungan tersebut, Asean Economic Community (AEC), yang akan diberlakukan pada 2015, memiliki nilai strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Asia. Saat ini rata-rata laju pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah 5,5% serta memiliki jumlah penduduk 608 juta jiwa yang merupakan potensi pasar dan tenaga kerja yang besar. 

Oleh banyak kalangan, Indonesia dinilai belum siap menghadapi ASEAN Free Trade (AFTA) tahun 2015. Permasalahannya beragam. Salah satunya adalah terbatasnya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan dan bandara. Kelengkapan infrastruktur diperlukan untuk menekan biaya logistik dan transportasi yang dapat melemahkan daya saing produk Indonesia. Saat ini memang diperkirakan ada 600 juta penduduk di ASEAN yang dapat menjadi pasar potensial. 

AFTA adalah bentuk dari kerjasama perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk menciptakan situasi perdagangan yang seimbang dan adil melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN. Hanya akan ada satu pasar dan basis produksi dengan lima elemen utama, yaitu aliran bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, aliran modal dan aliran bebas tenaga kerja terampil.

Dengan tujuan meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Dalam kesepakatan, AFTA direncanakan berpoerasi penuh pada tahun 2008 namun dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003.

Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema “Common Effective Preferential Tariff” (CEPT) yang bertujuan agar barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan setidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.
Namun anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPT dalam tiga kategori :
(1) pengecualian sementara,
(2) produk pertanian yang sensitif
(3) pengecualian umum lainnya (Sekretariat ASEAN 2004)

LALU APA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA?
            Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN memiliki beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapannya dalam menghadapi AFTA, diantaranya adalah : dari segi penegakan hukum, sudah diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk di Indonesia. Jika tidak ada kepastian hukum, maka iklim usaha tidak akan berkembang baik, dimana keadaan tersebut akan menyebabkan biaya ekonomi suatu barang tinggi yang berpengaruh terhadap daya saing produk tersebut dalam pasar internasional.

Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia sangat luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit diawasi. Akibatnya, terjadi banjir barang selundupan yang melemahkan daya saing industri nasional.

Namun, selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas membawa sejumlah keuntungan. Pertama, barang-barang yang semula diproduksi dengan biaya tinggi akan bisa diperoleh konsumen dengan harga lebih murah. Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi secara bersama-sama, kawasan ASEAN akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan sumber daya alam dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif.

Ketiga, adanya spesialisasi yang meningkatan volume perdagangan. Sebagai contoh, ada dua negara yang dapat memproduksi dua barang, yaitu A dan B, tetapi kedua negara tersebut membutuhkan barang A dan B untuk dikonsumsi.

Secara teoretis, perdagangan bebas antara kedua negara tersebut akan membuat negara yang memiliki keunggulan komparatif (lebih efisien) dalam memproduksi barang A (misalkan negara pertama) akan membuat hanya barang A, mengekspor sebagian barang A ke negara kedua, dan mengimpor barang B dari negara kedua.

Sebaliknya, negara kedua akan memproduksi hanya barang B, mengekspor sebagian barang B ke negara pertama, dan akan mengimpor sebagian barang A dari negara pertama. Akibatnya, tingkat produksi secara keseluruhan akan meningkat (karena masing-masing negara mengambil spesialisasi untuk memproduksi barang yang mereka dapat produksi dengan lebih efisien) dan pada saat yang bersamaan volume perdagangan antara kedua negara tersebut akan meningkat juga (dibandingkan dengan apabila kedua negara tersebut memproduksi kedua jenis barang dan tidak melakukan perdagangan).

Saat ini AFTA hampir seluruhnya diimplementasikan. Dalam perjanjian perdagangan bebas tersebut, tarif impor barang antarnegara ASEAN secara berangsur-angsur telah dikurangi. Saat ini tarif impor lebih dari 99 persen dari barang-barang yang termasuk dalam daftar Common Effective Preferential Tariff (CEPT) di negara-negara ASEAN-6 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) telah diturunkan menjadi 5 persen hingga 0 persen.

Selain itu AFTA tampaknya telah dapat meningkatkan volume perdagangan antarnegara ASEAN secara signifikan dan memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar Indonesia, kemampuan negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita bahkan masih lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar ekspor negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pangsa pasar China di Indonesia.

Pada tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 17,6 persen. Implementasi AFTA telah meningkatkan ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya, pangsa pasar ASEAN di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa pasar negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen. Jadi, saat ini produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar Indonesia dibandingkan dengan produk-produk dari China.

Namun sayangnya hal ini belum terjadi pada Indonesia, pada tahun 2000, misalnya, pangsa pasar ekspor Indonesia di Malaysia mencapai 2,8 persen. Dan pada tahun 2005 hanya meningkat menjadi 3,8 persen. Hal yang sama terjadi di pasar negara-negara ASEAN lainnya.


DAMPAK PADA SEKTOR RIIL
Untuk Indonesia kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup terbuka bagi sector riil, salah satunya barang seperti hasil komoditas pertanian. Kegiatan ekspor komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan Indonesia namun belum bisa menjadi sumber pemasukan ekspor memiliki kesempatan yang lebih baik dengan adanya AFTA. Apalagi kita tahu bahwa Indonesia kaya akan hasil alam yang sampai saat ini belum kita manfaatkan dengan maksimal.

Secara umum, beberapa produk kita siap berkompetisi seperti, minyak kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan garmen. Tetapi, banyak pula jenis produk kita yang belum mampu bersaing dengan negara – negara ASEAN lain diantaranya, produk otomotif, teknologi informasi, dan produk pertanian. Dimana dalam pengembangan sektor riil baik barang ataupun jasa harus didukung dengan kemampuan. Namun tentunya barang – barang berharga lebih murah dengan kualitas yang  baik akan lebih diminati oleh konsumen dan itulah tantangan terbesar yang akan dihadapi para produsen.

DAMPAK PADA SEKTOR TENAGA KERJA
Sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum siap menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau pasar bebas ASEAN mulai 2015. “Kita semua tahu bagaimana kualitas SDM dan infrastruktur kita, padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama lagi,” kata pengamat politik ekonomi internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia mengatakan pada dasarnya FTA (Free Trade Area) sangat potensial untuk memperluas jejaring pasar sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya lagi pembatasan kuota produk.

Namun tentu saja dibutuhkan kemampuan yang sejajar dengan negara – negara lain, khususnya di bidang sumber daya manusia (SDM). Karena SDM Indonesia yang akan berkompetisi ekonomi regional tersebut. Jika peluang itu tidak dimanfaatkan maksimal, maka Indonesia justru menjadi pasar bagi negara lain.  Pemerintah dan pengusaha harus mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk menghadapi AFTA 2015. Menurut Rangga Umara, pengusaha yang sukses berbinis Pecel Lele Lela, pengusaha Indonesia sangat siap menghadapi AFTA 2015. “Kami tidak akan menjual perusahaan kami ke asing, “ janjinya. AFTA 2015 menjadi peluang sekaligus harapan bagi pengusaha Indonesia dan ASEAN. Bagi pengusaha lokal,  manfaat yang bisa diambil antara lain peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia. Bayangkan saja dengan penduduk sebesar ± 600 juta dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam, pasar ASEAN tentu menjanjikan.

Pada sektor tenaga kerja Indonesia, AFTA di nilai akan berdampak negatif melihat kesiapan ataupun kualitas sumber daya manusia yang di nilai belum memiliki bekal yang cukup untuk bersaing dengan SDM dari negara – negara ASEAN lainnya, yang akan berakibat munculnya banyak pengangguran dan sector tenaga kerja Indonesia penuh dengan SDM dari negara lain.
Dampak terburuk mengancam masyarakat lapisan paling bawah, seperti petani gurem dan pedagang kecil. Karena memang pada AFTA tahun 2015 produk-produk mereka harus bisa bersaing dengan produk seluruh negara ASEAN. Melihat saat ini Indonesia setidaknya berada di peringkat keenam dalam ASEAN di luar negara-negara yang baru bergabung (Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).


John Prasetyo, Staf Khusus Menteri Perindustrian, kepada para wartawan,  mengatakan AFTA 2015 tak perlu disikapi berlebihan dengan membuat rambu-rambu yang justru dapat merugikan Indonesia. Apalagi integrasi ekonomi regional itu lebih banyak mengusung pasar tunggal dan kesetaraan. Yang harus dengan serius diperhatikan adalah sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehingga bisa bersaing dengan SDM negara ASEAN lainnya. Salah satu contoh simple nya adalah, tenaga kerja dari negara-negara lain di ASEAN bisa bebas bekerja di Indonesia, begitu juga sebaliknya. Perlunya juga peran aktif dari masyarakat agar tidak terlalu tertarik oleh produk impor yang masuk, agar terjadinya keseimbangan pasar.



Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar