Sabtu, 09 Maret 2013

Free Trade ACFTA



ACFTA dimulai ketika pada tahun 2001 digelar ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Pertemuan kelima antara ASEAN dengan China ini menyetujui usulan China untuk membentuk ACFTA dalam waktu 10 tahun. Lima bidang kunci yang disepakati untuk dilakukan kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara dan pembangunan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan pertemuan antar Menteri Ekonomi dalam ASEAN-China Summit tahun 2002 di Phnom Penh, Vietnam. Pertemuan ini menyepakati Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation” (CEC), yang didalamnya termasuk FTA. Sejak pertemuan itulah ACFTA dideklarasikan.Kesepakatan CEC dalam pertemuan itu mengandung tiga pilar: liberalisasi, fasilitasi dan kerjasama ekonomi.
Ketika ACFTA mulai berlaku efektif pada Januari 2010, banyak pihak di Indonesia seolah-olah terhenyak dengan fakta ini. Diawali dengan isu para pemimpin politik waktu itu nampak sangat berkepentingan untuk mengawali proses pengurangan tarif mulai 2005. Logika yang digunakan adalah melihat kebijakan sebagai suatu paket yang dapat dipertukarkan. Jika  kebijakan X disetujui, maka kami juga akan menyetujui kebijakan Y. Jika China bersedia menurunkan tarif dalam negerinya saat itu (tahun 2000-an awal), maka ASEAN juga akan bersedia memenuhi keinginan China untuk mengadakan ACFTA.


Sejak disepakatinya perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dimulai tanggal 1 Januari 2010, produk jadi dari China membanjiri pasar domestik. Kawasan perdagangan baru mulai bermunculan dan kawasan perdagangan lama juga ikut ramai. Organisasi Perdagangan Dunia mengatakan, setidaknya sekitar 400 kawasan perdagangan beroperasi pada tahun 2010. Hal ini menjadikan langkah awal menuju perdagangan global liberalisasi yang luas.Hingga akhir 2010, tercatat neraca perdagangan Indonesia-China berada dalam posisi 49,2 miliar dollar AS dan 52 miliar dollar AS. Artinya, barang Indonesia yang diekspor ke China nilainya 49,2 miliar dollar AS, sedangkan barang China yang diekspor ke Indonesia nilainya 52 miliar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia defisit sekitar 2,8 miliar dollar AS. Namun, Imron menambahkan, neraca ini berdasarkan catatan China.
Perbandingannya dengan sebelum diadakannya perjanjian ACFTA posisi neraca perdagangan Indonesia-China adalah surplus untuk Indonesia. Namun, nilai transaksinya masih sangat kecil. Pada 2009, impor China dari Indonesia sebesar 17,1 miliar dollar AS, sedangkan impor Indonesia dari China sebesar 13 miliar dollar AS. Jika dilihat dari nilai, setelah ACFTA nilai transaksi justru melambung secara signifikan.
Sedangkan ditahun ini diperkirakan Perdagangan Indonesia-China  tahun ini diyakini mencapai US$60 miliar (Rp550,8 triliun) atau meningkat 27,65% dibandingkan dengan tahun lalu sebesar US$47 miliar karena hubungan kedua negara yang semakin dekat. “Tahun ini Indonesia juga masih defisit, belum tahu seberapa besar. Indonesia selalu surplus sampai 2003, setelah itu turun terus karena selalu impor bahan baku. [Supaya neraca perdagangan berimbang] yang perlu dilakukan adalah China melakukan investasi di Indonesia,” papar Sukamdani dalam web. Bisnis.com

kesimpulan
Perdagangan Bebas merupakan hal yang wajar terjadi di zaman globalisasi ini. Negara merupakan pengganti atau wakil individu jadi jelas bahwa negara sudah pasti akan melakukan hubungan sosial dengan negara lain. Salah satu bentuk hubungan sosial itu adalah menjalin kerjasama di bidang perekonomian dengan negara lain yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya masing-masing. Dengan pelaksanaan perdagangan menurut Adam Smith, David Ricardo, dan para pemikir ekonom dunia lainnya, yaitu negara tidak mencampuri urusan pasar, memiliki setidaknya keunggula komparatif agar dapat bersaing dengan negara lain dean yang terakhir adalah meletakkan ekonomi dalam konteks politik dimana politik itu sebagai pengatur untuk menjaga perekonomian dalam negeri.
Tetapi dalam pelaksanaanya seharusnya memiliki persiapan yang lebih terlebih dahulu. Terutama dalam konteks perdagangan bebas Indo-Cina sejak tahun 2001 yang membawa imbas negatif yang lebih banyak terhadap seluruh aspek perekonomian Indonesia atau mengalami defisit dibandingkan Cina.

Permasalahan Industri dan Perdagangan Indonesia
1. Industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan salah satu faktor tersembunyi yang menjadi penyebab kegagalan dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia.
2. Tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut. Tuntutan perubahan pasar dan persaingan antar industri secara global tidak hanya mencakup perubahan di dalam corak, sifat, kualitas, dan harga dari komoditas yang diperdagangkan, tetapi juga tuntutan lain yang muncul karena berkembangnya idealisme masyarakat dunia terhadap hak azasi manusia, pelestarian lingkungan, liberalisasi perdagangan, dan sebagainya.
3. Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk ke Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang luar negeri.
4. Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam - seperti hasil perikanan, kopi, karet, dan kayu; dan (ii) tersedianya tenaga kerja yang murah – seperti pada industri tekstil, alas kaki, dan barang elektronik. Keunggulan komparatif, bukan keunggulan kompetitif, inilah yang dijadikan acuan untuk menarik investor.
5. Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk bahan mentah (raw material), sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil. Misalnya Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan, yang kemudian diimpor lagi dalam bentuk mebel (furniture) karena terbatasnya penguasaan desain dan teknologi finishing.
6. Masih relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan formal dan pola pelaksanaan pelatihan yang cebderung masih bersifat umum dan kurang berorientasi pada perkembangan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat dari pola penyerapan tenaga kerja di masa lalu yang masih mementingkan pada jumlah tenaga manusia yang terserap (labor intensive) ketimbang kualitas tenaga manusianya (labor efficiency).
Kebanyakan Masyarakat Indonesia pada umumnya lebih berminat produk cina karena ia menawarkan tarif yagng lebih murah dari pada produk dalam negri indonesia sendiri hal ini di pengaruhi oleh daya beli masyarakat dan pendapatan yang di hasilkan tiap bulannya . Karena sebagian besar masyarakat indonesia adalah para petani yang rentan dengan kemiskinan dan tingkat daya beli nya rendah sudah pasti memilih menggunakan produk cina yang murah dari pada produk Indonesia

Pandangan saya terhadap Prdagangan Bebas antar Indo-Cina dalam konteks ACFTA:
Perdagangan Bebas merupakan hal yang wajar terjadi di zaman globalisasi ini. Negara merupakan pengganti atau wakil individu jadi jelas bahwa negara sudah pasti akan melakukan hubungan sosial dengan negara lain. Salah satu bentuk hubungan sosial itu adalah menjalin kerjasama di bidang perekonomian dengan negara lain yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya masing-masing. Dengan pelaksanaan perdagangan menurut Adam Smith, David Ricardo, dan para pemikir ekonom dunia lainnya, yaitu negara tidak mencampuri urusan pasar, memiliki setidaknya keunggula komparatif agar dapat bersaing dengan negara lain dean yang terakhir adalah meletakkan ekonomi dalam konteks politik dimana politik itu sebagai pengatur untuk menjaga perekonomian dalam negeri.
Tetapi dalam pelaksanaanya seharusnya memiliki persiapan yang lebih terlebih dahulu. Terutama dalam konteks perdagangan bebas Indo-Cina sejak tahun 2001 yang membawa imbas negatif yang lebih banyak terhadap seluruh aspek perekonomian Indonesia atau mengalami defisit dibandingkan Cina.
Seharusnya Pemerintah sebelum menandatangangi perjanjian tersebut harus mengkaji ulang atau memprediksi implikasi dari perjanjian ini kedepannya, bukan hanya melihat keuntungan sesaat yang terjadi pada saat itu, atau hanya melihat peluang yang besar dari adanya perjanjian ini bagi produsen Indonesia, pertanyaan nya adalah mampukah SDM Indonesia bersaing dengan SDM china dalam segi perekonomian.
Analoginya cina adalah sebagai Angsa pertama yang menembus awan angkasanya , dan Indonesia dan negara ASEAN lainnya adalah angsa pengikutnya. Boooming saat ini adalah produk murah yang ditawarkan Cina mampu memikat masyarakat indonesia saat ini yang sebagian besar nya memiliki daya beli yang rendah, secara tidak langsung shampir seluruh masyarakat Inodnesia membeli produk cina.
Hal diatas adalah satu dari sekian banyak contoh nyata dari politik perekonomian cina.siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan dari kebijakan itu? Menurutnya, tidak ada kebijakan publik yang dapat menyenangkan semua orang. Karena itu, kita perlu memahami konteks suatu kebijakan dibuat. Pemahaman itu akan mengantar kita pada perluasan wawasan yang pada gilirannya menuntun kita untuk bertindak lebih arif.
Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia dengan negara lain, idealnya ditempuh dengan negara-negara yang tak memiliki produksi barang dan jasa yang relatif sama dengan Indonesia. Sehingga rezim perdagangan bebas tidak akan memukul sektor industri manufaktur, sektor pertanian, maupun UMKM dalam negeri. Sebaliknya kita justru akan memiliki keunggulan komparatif terhadap negara mitra.
 Dalam konteks inilah, Indonesia mestinya mengadakan perdagangan bebas dengan negara-negara yang perekonomiannya telah memasuki tahap industri lanjut (pasca-industry), bukan negara-negara sedang berkembang. Mereka relatif tidak lagi mengandalkan sektor pertanian atau manufaktur, melainkan sudah beralih kepada industri berteknologi tinggi seperti komputer dan peranti lunak komputer.
Referensi:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar